IBMNews.com, Malinau – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan komitmennya untuk menempatkan masyarakat adat sebagai prioritas utama dalam penyelesaian konflik dan tumpang tindih lahan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
Penegasan ini disampaikan Tenaga Ahli Menteri Kehutanan, Michael Gorbachev Dom, yang memimpin Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat di Malinau. Ia memastikan bahwa proses verifikasi terhadap 10 usulan hutan adat di wilayah tersebut akan berorientasi pada kepentingan masyarakat.
“Arahan Menteri (Raja Juli Antoni) jelas, kita akan percepat penetapan 1,4 juta hektare hutan adat selama lima tahun. Malinau menjadi prioritas karena cakupannya besar,” ujar Michael Gorbachev di Kantor Bupati Malinau.
Gorbachev menegaskan, kedatangan tim Satgas bukan sekadar untuk menenangkan suasana, melainkan untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat.
“Pak Menteri Raja Juli Antoni selalu bilang, keluhan itu bukan untuk diadem-ademin, tapi untuk dicek,” tegasnya, sembari mengenakan topi khas Dayak.
Ia mengakui adanya kompleksitas lapangan, terutama tumpang tindih antara wilayah adat dengan Taman Nasional Kayan Mentarang dan area konsesi. Untuk itu, KLHK tengah menyiapkan sistem “Satu Peta” agar seluruh data antar-direktorat dapat disatukan.
“Teman-teman perhutanan sosial dan pengelola konsesi harus punya satu dashboard yang sama agar petanya bisa dioverlay,” jelasnya.
Menjawab kemungkinan tumpang tindih lahan, Gorbachev mengutip arahan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Laksmi Wijayanti, yang menegaskan bahwa keberadaan masyarakat akan diutamakan.
“Kalau memang ada masyarakat, maka masyarakat akan didahulukan. Ada juga skema kemitraan konsesi dalam PBPH yang bisa menjadi jalan keluar,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota tim verifikasi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Soeryo Adiwibowo, MS, menyebut bahwa tumpang tindih wilayah merupakan kenyataan yang tak bisa dihindari.
“Itu fakta di lapangan, jadi harus dicari solusi win-win. Tidak ada cara lain,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan utama justru bukan saat memverifikasi di lapangan, melainkan ketika berhadapan dengan pihak-pihak lain di luar masyarakat.
“Tugas terberat adalah menghadapi aktor lain seperti pengelola taman nasional atau perusahaan. Verifikasi lapangan justru lebih ringan,” katanya.
Dr. Soeryo menambahkan, dalam setiap negosiasi, tim selalu menempatkan akses hidup masyarakat adat sebagai prinsip utama.
“Masyarakat tidak ingin menguasai, mereka hanya butuh ruang hidup dan akses. Nah, konsep akses inilah yang harus dibicarakan bersama,” jelasnya.
Ia juga menuturkan bahwa proses verifikasi di Malinau sangat menguras tenaga, karena melibatkan 10 komunitas adat sekaligus, jumlah yang jauh lebih besar dibanding wilayah lain.
“Biasanya satu tim hanya mendampingi satu komunitas. Di Malinau, kami tangani sepuluh sekaligus,” ujarnya.
Dr. Soeryo bahkan membagikan kisah ringan untuk menggambarkan dedikasi tim di lapangan.
“Ada rekan kami ditegur pimpinannya karena jarang di kantor. Padahal, alasannya sederhana, lebih banyak waktu dihabiskan bersama masyarakat,” katanya sambil tersenyum.
Ia berharap masyarakat Malinau memahami bahwa proses ini memang membutuhkan waktu dan kesabaran.
“Tim turun bukan karena malas ngantor, tapi karena memperjuangkan masyarakat banyak,” pungkasnya.***(IBM02)