IBMNews.com, KTT – Klaim PT. Borneo Agro Sakti (BAS) bahwa sosialisasi rencananya dihadiri oleh tokoh adat dan masyarakat di Kabupaten Tana Tidung (KTT) dibantah tegas. Puluhan tokoh adat dan tokoh masyarakat dari empat desa—Kujau, Bebakung, Mendupo, dan Periuk—menyatakan mereka sama sekali tidak hadir dan tidak menerima kegiatan sosialisasi perusahaan kelapa sawit tersebut. Penolakan ini sekaligus mengoreksi pemberitaan sebelumnya yang dianggap mengadopsi narasi sepihak dari perusahaan.
Koreksi atas klaim kehadiran itu disampaikan dalam pertemuan para tokoh adat dan masyarakat di salah satu hotel di Tarakan, Rabu malam (22/10/2025). Mereka menegaskan, sikap menolak kehadiran PT. BAS telah bulat sejak awal, sehingga mustahil bagi mereka untuk menghadiri acara yang diselenggarakan perusahaan.
Salah satu tokoh masyarakat, Simon G., mantan Kepala Desa Kujau, dengan tegas menyanggah narasi yang beredar. “Kami tegaskan, tidak ada satu pun perwakilan resmi tokoh adat atau masyarakat dari empat desa yang hadir dalam sosialisasi PT. BAS. Klaim perusahaan bahwa mereka didukung masyarakat adalah tidak benar dan menyesatkan. Kami justru menolak keras cara-cara mereka yang arogan dan tidak transparan sejak awal,” tegas Simon.
Simon membeberkan, masyarakat merasa diperlakukan semena-mena. “Banyak hal yang disampaikan perusahaan tidak jelas. Konsep CSR-nya tidak ada, bantuan sosialnya tidak jelas, lahan mana yang akan dikuasai pun tidak pernah dijelaskan secara resmi. Semuanya serba samar,” ungkapnya.
Lebih parah lagi, dalam satu kesempatan yang diketahui warga, PT. BAS justru memaparkan program CSR milik perusahaan lain, bukan miliknya sendiri. Hal ini semakin menguatkan citra bahwa manajemen PT. BAS tidak memiliki komitmen dan keseriusan dalam bermitra dengan masyarakat.
Simon juga memaparkan bahwa hingga saat ini, PT. BAS belum pernah melakukan dialog resmi dengan para tokoh adat dan tokoh masyarakat terkait batas dan luasan wilayah yang akan dikuasai. Namun, warga sudah dilarang menggarap lahannya sendiri dengan alasan lahan tersebut telah menjadi milik perusahaan.
“Kami hanya tahu perusahaan mengklaim akan menguasai 3.526 hektar lahan. Tapi belum ada satu pun pelepasan lahan oleh warga. Anehnya, kami sudah diusir saat akan menggarap tanah kami sendiri,” tuturnya.
Menurut Simon, berdasarkan ketentuan, perusahaan seharusnya membebaskan minimal 50 persen lahan masyarakat dari total luasan yang dimohon sebelum beroperasi. Namun faktanya, tidak ada proses pembebasan lahan yang sah, sementara klaim sepihak perusahaan terus dilakukan.
Tindakan yang paling disesalkan adalah kedatangan aparat keamanan bersenjata lengkap saat manajemen PT. BAS melakukan pemantauan di area rencana plasma. Tindakan ini dinilai sebagai bentuk intimidasi dan unjuk kekuatan yang menciptakan suasana teror.
“Waktu aparat bersenjata datang ke Desa Kujau, warga panik. Mereka pikir ada konflik besar. Perusahaan lain tidak pernah berani membawa aparat bersenjata. PT. BAS justru datang dengan cara-cara yang arogan. Bagaimana mungkin masyarakat bisa menerima mereka?” kata Simon geram.
Simon juga mengungkapkan bahwa masyarakat bersama tokoh adat dari empat desa kini sedang berjuang mempertahankan tanah adat mereka yang diduga telah diserobot oleh PT. BAS. Selain itu, perusahaan juga diduga mengantongi izin dengan tanda tangan palsu milik salah satu pejabat pemerintah KTT, yang telah dilaporkan ke pihak berwajih.
“Kami tidak melawan hukum, kami hanya menuntut keadilan. Kami berharap negara hadir dan memberikan perlindungan atas hak masyarakat adat,” pungkas Simon.
Sementara itu, upaya konfirmasi awak media kepada pihak manajemen PT. BAS belum membuahkan hasil. Salah satu mantan karyawan yang dihubungi menyatakan dirinya sudah tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut sejak September 2025, dan menolak memberikan kontak manajemen.***(IBM02)










