IBMNews.com, Tarakan – Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberikan kewenangan verifikasi administratif ijazah calon legislatif dan kepala daerah secara menyeluruh—mulai dari ijazah SD hingga terakhir. Langkah ini diharapkan menutup celah pemalsuan dokumen dan mencegah Pemungutan Suara Ulang (PSU) seperti yang kerap terjadi di Kaltara.
Ketua KI Kaltara, Fajar Mentari dalam sosialisasi keterbukaan informasi Pemilu (22/7/2025), mengungkapkan pembahasan akses verifikasi ijazah oleh Bawaslu sedang digodok di tingkat pusat. Ia menilai regulasi saat ini terlalu ketat dengan alasan perlindungan data pribadi, padahal transparansi pendidikan calon pejabat vital bagi publik.
“Bawaslu harus bisa memverifikasi kelayakan calon dari ijazah SD hingga SMA. Masyarakat berhak tahu latar belakang pendidikan calon yang nantinya membuat kebijakan publik,” tegas Fajar (24/7/2025).
Fajar membeberkan dua modus yang kerap terjadi, yakni yang pertama Ijazah asli palsu artinya Dokumen asli, tetapi proses perolehannya tidak sah. Yang kedua Ijazah aspal (asli tapi palsu): Palsu secara dokumen, tetapi diakui sebagai asli.
“Bagaimana jika ijazah terakhir paket C ternyata asli, tapi SD/SMP-nya palsu? Otomatis ijazah terakhir batal demi hukum,” ujarnya.
Fajar menekankan, verifikasi administratif bukan sekadar formalitas, melainkan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi. “Ini hajat hidup orang banyak. Bawaslu harus diberi akses terbatas dan bertanggung jawab untuk meminimalkan pelanggaran,” jelasnya.
KI Kaltara telah aktif mendorong transparansi Pemilu sejak 2024, termasuk kolaborasi dengan KPU dan Bawaslu. “Semua tahapan Pemilu harus terbuka. Mulai dari Pileg hingga Pilkada,” tambah Fajar.
Fajar menyoroti praktik partai yang lebih mengutamakan “modal finansial dan keluarga besar” ketimbang kualitas calon. “Di pedalaman, jadi tokoh masyarakat cukup karena faktor senioritas atau jumlah keluarga. Ini tidak menjamin kompetensi,” kritiknya.
Ia juga mengingatkan, Pemilu semestinya mengutamakan kepentingan rakyat, bukan partai. “Demokrasi jangan jadi alat segelintir kelompok. Wakil rakyat harus kompeten, bukan sekadar punya ijazah aspal.”
Meski negara memberi kesempatan melalui program paket, Fajar menegaskan calon pejabat harus melalui jenjang pendidikan normal. “Jika paket B, seharusnya lanjut SMA biasa, bukan paket C lagi. Idealnya, pendidikan normal jadi dasar mendaftar,” paparnya.
Fenomena ini, menurutnya, berpotensi merusak mentalitas: “Jangan sampai muncul pikiran, ‘buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau jadi pejabat cukup paket A, B, C?’ Pemilu harus jadi ajang edukasi, bukan pembodohan.”
Fajar menegaskan, jika hal Ini bukan soal gelar tertinggi, tapi keaslian ijazah. Tidak masalah staf DPRD bergelar doktor sementara anggotanya lulusan paket C, asal ijazahnya sah. Yang bahaya jika aspal!
Upaya Komisi Iinformasi Kaltara ini menjadi alarm bagi semua pihak: demokrasi hanya bermakna jika dijalankan dengan integritas dan transparansi.***(IBM02)