Di ujung utara Kalimantan, tepat di Pulau Sebatik, berdiri megah sebuah bangunan perbatasan yang menyimpan banyak harapan: Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sei Pancang. Bangunan ini telah diresmikan. Namanya sudah tercatat sebagai simbol kehadiran negara di tapal batas. Namun hari ini, PLBN Sebatik masih sepi, sunyi, dan belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Sebagai putra daerah dan wakil rakyat di Kabupaten Nunukan, saya menyaksikan langsung harapan yang menggantung di mata masyarakat. Perbatasan bukan sekadar soal batas wilayah—ia adalah tentang kehadiran negara yang bisa dirasakan, disentuh, dan diandalkan. PLBN yang dibangun dengan anggaran negara, jika tidak dioperasikan, hanyalah monumen diam di tengah dinamika perbatasan yang terus bergerak.
Sebatik adalah satu dari sedikit wilayah di dunia yang satu pulaunya terbagi dua negara. Setiap hari, aktivitas masyarakat di sana melintasi batas, baik untuk kebutuhan ekonomi, sosial, maupun budaya. Sayangnya, tanpa jalur resmi yang berfungsi penuh, mobilitas itu berlangsung secara informal, tak tercatat, dan rentan terhadap risiko—baik dari sisi keamanan maupun martabat negara.
Kita tentu memahami bahwa pengoperasian PLBN membutuhkan kerja sama dua negara. Tapi kita juga tahu bahwa diplomasi tidak akan berjalan tanpa kemauan politik yang kuat. Jika kita serius menjaga kedaulatan dan ingin menjadikan perbatasan sebagai beranda depan, bukan halaman belakang, maka PLBN Sebatik harus segera difungsikan.
Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Tapi saya percaya, menunda operasionalisasi PLBN ini sama dengan menunda kehadiran negara di titik strategis perbatasan. Ini bukan lagi soal infrastruktur yang belum lengkap, tapi soal komitmen kita bersama untuk memastikan bahwa masyarakat di perbatasan tidak terus hidup dalam ruang abu-abu kebijakan.
Melalui tulisan ini, saya mengajak semua pihak—pemerintah pusat, kementerian terkait, dan para pengambil kebijakan nasional—untuk melihat lebih dekat ke Sebatik. Datanglah, dengarkan langsung aspirasi masyarakat di sana. Mereka tidak menuntut istimewa, mereka hanya ingin negara hadir secara nyata—melalui jalur resmi, pelayanan publik, dan kepastian hukum yang bisa mereka akses setiap hari.
PLBN Sebatik telah berdiri. Tinggal bagaimana kita menghidupkannya.***