IBMNews.com – Pada tanggal 3 Mei 2025 ini, dunia kembali memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, sebuah momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang kebebasan pers dan tantangan kontemporer yang dihadapi oleh dunia jurnalistik. Berikut penjelasan komprehensif tentang sejarah kebebasan pers dan tantangan masa kininya.
Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia
Perjalanan kebebasan pers di Indonesia telah melalui berbagai fase politik yang penuh gejolak:
Masa Kolonial Belanda
Pers di Indonesia mulai berkembang sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, dimana surat kabar sering menjadi alat perjuangan rakyat. Pemerintah kolonial kerap menutup dan melarang terbitan yang dianggap mengancam kekuasaan mereka.
Masa Orde Lama (1945-1965)
Awal kemerdekaan memberikan angin segar bagi kebebasan pers, namun situasi berubah setelah tahun 1950. Pada 1957, pemerintah Orde Lama melakukan 125 tindakan antipers termasuk 32 pemberedelan media seperti Harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara. Puncaknya adalah penerapan Demokrasi Terpimpin tahun 1959 yang membelenggu pers dengan Surat Izin Terbit (SIT) dan sensor ketat.
Masa Orde Baru (1966-1998)
Awal Orde Baru sempat memberi harapan dengan UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1966, namun justru menjadi alat kontrol melalui SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Peristiwa Malari 1974 menyebabkan pemberedelan 14 media, dan tahun 1978 Harian Kompas sempat ditutup selama dua pekan. Tahun 1982, 11 media termasuk Tempo dibredel karena pemberitaan kritis.
Era Reformasi (1998-sekarang)
Reformasi membawa perubahan signifikan dengan dibubarkannya Departemen Penerangan dan lahirnya UU Pers tahun 1999 yang menghapus penyensoran dan pemberedelan. Namun tantangan baru muncul berupa serangan digital dan doxing terhadap jurnalis.
Asal-usul Hari Kebebasan Pers Sedunia
Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap 3 Mei dicanangkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1993, berasal dari Rekomendasi Konferensi Umum UNESCO tahun 1991 yang merespon Deklarasi Windhoek di Namibia . Deklarasi bersejarah ini merupakan seruan jurnalis Afrika untuk kebebasan pers dan menjadi pengingat bagi pemerintah dunia untuk menghormati komitmen mereka.
Tujuan peringatan ini antara lain:
– Menilai kondisi kebebasan pers global.
– Membela independensi media.
– Merayakan prinsip dasar kebebasan pers.
– Menghormati jurnalis yang gugur.
Tantangan Kebebasan Pers Masa Kini
Di era digital ini, kebebasan pers menghadapi tantangan kompleks:
1. Ancaman Digital dan Teknologi
– AI dan Otomasi : Kecerdasan Buatan mengubah lanskap jurnalistik dengan risiko penyebaran disinformasi, deepfake, dan pengawasan massal terhadap jurnalis.
– Serangan Siber: Doxing (pembocoran data pribadi) dan perundungan daring terhadap jurnalis meningkat.
– Algoritma Platform: Kontrol oleh platform digital besar terhadap arus informasi.
2. Tekanan Ekonomi dan Politik
– Konsentrasi kepemilikan media oleh oligarki politik dan bisnis.
– Ketergantungan pada pendanaan iklan yang mempengaruhi independensi.
– Penggunaan UU seperti UU ITE untuk kriminalisasi jurnalis.
3. Kekerasan dan Intimidasi
– 15 kasus serangan digital terhadap media dan jurnalis dilaporkan di Indonesia sepanjang 2022.
– Ancaman fisik, pembunuhan, dan penculikan masih terjadi di berbagai negara.
4. Krisis Integritas Media
– Kompetisi bisnis digital mendorong praktik clickbait dan jurnalisme sensasional.
– Melemahnya jurnalisme investigatif karena biaya tinggi.
5. Banjir Informasi dan Disinformasi
– Media sosial menenggelamkan jurnalisme profesional dalam hiruk-pikuk opini tak berdasar.
– Meningkatnya produksi dan penyebaran konten palsu.
Tema Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025
Tahun ini mengangkat tema “Reporting in the Brave New World – The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media” yang fokus pada dampak AI terhadap kebebasan pers . AI dinilai memiliki potensi ganda:
– Peluang : Mempermudah akses informasi, pengecekan fakta, dan partisipasi demokratis
– Ancaman : Penyebaran disinformasi, pengawasan massal, dan ancaman terhadap keberlangsungan media independen
Refleksi dan Harapan
Sejarah membuktikan bahwa kebebasan pers bukan hadiah dari penguasa, melainkan hasil perjuangan panjang . Di Indonesia, dari masa kolonial hingga reformasi, pers selalu menjadi ruang perjuangan antara kebenaran dan kekuasaan.
Di tengah tantangan era digital, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, media, dan masyarakat sipil untuk:
– Melindungi jurnalis dari berbagai bentuk ancaman
– Menjaga independensi media dari intervensi politik dan bisnis
– Mendorong regulasi yang melindungi kebebasan pers
– Meningkatkan literasi media masyarakat
Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai peringatan Hari Kebebasan Pers, ketika pers dibungkam, yang hilang bukan hanya berita, tetapi juga kesadaran kolektif, hak publik, dan nyawa demokrasi itu sendiri . Di momentum peringatan 3 Mei 2025 ini, kita diingatkan bahwa kebebasan pers yang telah diperjuangkan dengan susah payah harus terus dijaga dan diperjuangkan oleh seluruh elemen masyarakat.***(Dari Berbagai Sumber)