IBMNews.com, Tenggarong – Di puncak Bukit Biru, angin berbisik lembut mengusap dedaunan, membawa aroma tanah basah dan harum rerumputan. Namun di balik keindahannya, ada tangis bumi yang tak terdengar, sampah-sampah berserakan, mengotori jalur pendakian yang seharusnya menjadi hamparan permadani hijau.
Menyambut Hari Bumi yang jatuh pada 22 April, para pejuang alam dari Mahasiswa Pecinta Alam Politeknik Pertanian Negeri Samarinda (MAPA POLITANI) tak hanya mendaki, tapi juga membawa misi mulia, yakni mengembalikan senyum pada bumi. Dengan kantong sampah di tangan dan semangat di dada, mereka menyisir setiap sudut Bukit Biru, mengumpulkan plastik, botol, dan bungkus makanan yang menjadi “luka” di tubuh gunung.
“Naik gunung demi keindahan, tapi meninggalkan sampah seolah tak menghargainya,” ucap salah satu relawan, matanya menerawang ke hamparan hijau yang semestinya tak ternoda.
Tak berhenti di situ, MAPA POLITANI memasang plang imbauan di puncak bukit. Tulisan-tulisan bernyawa menghiasi kayu yang kokoh:
“Kalau bisa bawa sampah naik, kenapa tak bisa bawa turun juga?
“Meninggalkan sampah sama dengan meninggalkan jejak buruk.”
Ketua MAPA POLITANI, Yolan Emilia Damanik dengan suara lantang penuh keyakinan, berbagi harapan: “Kami percaya, aksi kecil hari ini bisa jadi benih kesadaran besar. Alam memberi kita oksigen, pemandangan indah, dan kedamaian. Sudah seharusnya kita membalasnya dengan menjaga, bukan merusak.”
Bukit Biru bukan sekadar tanah dan batu. Ia adalah rumah bagi pepohonan yang berjasa menyerap karbon, tempat burung-burung bernyanyi, dan saksi bisu tawa para pendaki yang datang mencari ketenangan. Tapi, bisakah ia tetap bertahan jika setiap hari ditusuk oleh sampah dan ketidakpedulian?
Seorang pengunjung, Rina, menghela napas melihat aksi MAPA POLITANI. “Saya sering ke sini, dan sedih lihat sampah berserakan. Aksi seperti ini harus terus dilakukan, sekaligus mengingatkan kita semua: alam butuh perhatian, bukan eksploitasi.”
MAPA POLITANI tak sendiri. Bersama Wamapala Relawan, mulai tergerak. Mereka berharap aksi ini tak berhenti di sini, tapi menjadi gerakan massal di setiap gunung, pantai, dan hutan.
“Kita hanya punya satu bumi. Jika bukan kita yang menjaganya, lalu siapa lagi”
Sebelum meninggalkan Bukit Biru, langit senja memeluk bukit itu dengan cahaya keemasan. Sampah-sampah telah dibersihkan, plang imbauan berdiri tegak. Tapi pertanyaannya tetap menggantung: Akankah kita belajar, sebelum bumi berhenti memberi?
Selamat Hari Bumi 2025, mari kita selamatkan Bumi***(Mapa Politani)
“SelamatkanBumiHariBumi2024” #MAPA_POLITANI_Peduli