Menjadi aparat kepolisian bukanlah perkara mudah. Di balik seragam cokelat yang dikenakan, tersimpan dilema besar antara panggilan tugas dan suara nurani. Polisi sejatinya adalah bagian dari masyarakat. Mereka makan nasi yang sama, membayar pajak yang sama, merasakan naik-turunnya harga kebutuhan, dan merasakan penderitaan hidup yang sama seperti kita. Hanya saja, sumpah jabatan dan seragam yang melekat membuat mereka tampak berbeda.
Sebagai jurnalis yang hampir dua puluh tahun meliput berbagai kegiatan, termasuk salah satunya berbagai aksi demonstrasi, saya melihat langsung pergulatan batin para petugas. Ketika berdiri di belakang barisan polisi, saya kerap mendengar bisikan lirih mereka kepada rekan di sampingnya: “Semoga massa tidak anarkis. Semoga tidak ada kerusakan. Semoga kita semua bisa pulang dengan selamat.”
Polisi bukanlah musuh pendemo. Mereka justru hadir untuk memastikan aksi berjalan damai, tidak disusupi provokator, dan tidak mengganggu masyarakat lain yang sedang beraktivitas. Namun, justru sering kali menjadi sasaran dilempari batu, botol, atau kayu. Awalnya, Polisi memilih diam dan mundur. Akan tetapi ketika situasi semakin tidak kondusif, aparat terpaksa bertindak agar kerusuhan segera bubar sebelum menelan korban jiwa. Itu pun dilakukan bukan dengan dendam, melainkan untuk menjaga, agar kita tidak terluka atau secara tidak sengaja melukai orang lain.
Bisa jadi lemparan kita ke arah petugas polisi, malah justru mengenai seorang ibu rumah tangga yang kebetulan melintasi tempat itu, atau melukai seorang ayah yang secara tidak sengaja berada ditempat dan waktu yang salah, padahal niatnya jam kerja usai langsung ingin pulang kerumah. Jikapun ada beberapa aparat yang bertindak berlebihan, itu karena tindakan refleks akibat berjam-jam menahan makian, lemparan botol, lemparan batu, atau lemparan kayu . Lumrah saya bilang, karena pada dasarnya, begitulah sikap lahiriah
manusia ketika disakiti. Tidak menutup kemungkinan saya juga akan melakukan yang sama. Saya yakin, demikian juga yang lainnya.
Kita kerap lupa bahwa aparat bukan robot. Polisi juga punya rasa sakit ketika mendapat lemparan, punya rasa marah ketika disakiti dan punya keluarga yang sedang menunggu di rumah. Mungkin ada istri yang sakit, anak yang demam, atau orang tua yang dirawat. Namun karena panggilan tugas, mereka harus rela meninggalkan keluarga demi menjaga keamanan kita semua.
Saya pernah menyaksikan sendiri, saat waktu salat tiba, seorang polisi menyempatkan diri ke masjid. Seusai berdoa, air matanya jatuh tanpa ia sadari. Saya hanya bisa membayangkan doa itu: mungkin ia berharap aksi segera damai, mungkin ia memohon agar bisa pulang menjenguk keluarganya, atau sekadar rindu kampung halaman.
Memang benar, di setiap institusi—baik Polri, TNI, DPR, kementerian, hingga media—selalu ada saja oknum yang menyalahgunakan wewenang. Itulah sisi gelap manusia. Namun, apakah karena ulah segelintir orang kita harus membenci seluruh lembaga? Tidak ada institusi di dunia yang benar-benar bersih. Bahkan profesi jurnalis pun tak lepas dari oknum. Karena itu, kita seharusnya jernih melihat permasalahan, menolak kezaliman, tetapi juga tidak menutup mata terhadap pengorbanan yang dilakukan aparat.
Saya teringat obrolan santai dengan seorang polisi saat melakukan peliputan malam. Ia berkata dengan penuh kejujuran: “Sebenarnya, apa yang diperjuangkan para pendemo juga mewakili isi hati kami, Mas. Tapi kami tidak mungkin ikut turun. Kalau kami ikut demo, siapa yang jaga keamanan warga? Siapa yang melindungi massa dari preman bayaran atau orang yang punya kepentingan?”
Petugas lain juga menambahkan: “Kalau harga sembako naik, pajak naik, kami juga pusing. Tapi kan nggak lucu kalau polisi ikut demo. Kalau polisi juga demo, penjahat malah senang. Mereka bisa bebas merampok dan mencuri karena tahu polisi lagi sibuk demo.”
Jawaban-jawaban itu membuat saya sadar bahwa selama ini, saya pun kadang terjebak melihat dari satu sisi saja. Padahal, di balik seragam itu, mereka tetaplah manusia yang juga berteriak dalam hati melihat ketidakadilan. Bedanya, mereka terikat sumpah dan aturan yang membuat suara mereka terkungkung.
Kembali kepersoalan terjadi akhir-akhir ini yang menimbulkan kebencian masyarakat terhadap institusi yang tanpa kita sadari selama ini, bahwa mereka juga banyak memberikan perlindungan kepada kita. Banyak menjaga kita dari rasa takut, dan keberadaan merekalah menciptakan rasa aman dikeluarga kita.
Salah satu contoh yang saya mau ungkapkan, ketika saya sedang bertugas melakukan peliputan dimalam hari, dimana saat warga tertidur lelap, Polisi justru harus berjaga untuk keamanan seluruh warga dimalam hari.
Mereka langsung datang dan bertindak saat
ada laporan dari warga yang mengalami aksi kejahatan berupa perampokan, pencurian, kekerasan, dan lain sebagainya, tanpa ragu mendatangi lokasi kejahatan untuk memberikan pertolongan.
Para petugas ini memilih untuk tidak tidur demi melindungi warga. mereka takut, saat terlelap, tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, tidak bisa melindungi kita dan tidak bisa datang saat diperlukan akhirnya mereka memilih untuk berjaga.
Namun dengan ketidakhadiran mereka bersama keluarganya dimalam hari, maka rumahnya sendiri, justru tidak lepas dari incaran bahaya kejahatan. Apakah kita juga pernah memikirkan hal ini?
Jangan lupakan kebaikan petugas kepolisian yang lainny. Tidak sedikit juga yang benar-benar mengabdi kepada masyarakat, sampai berani mengorbankan jiwa raganya. Saya juga kerap menemukan hal baik yang dilakukan oleh polisi saat melakukan peliputan di daerah lainnya. Namun rata-rata menolak untuk dipublikasikan, dengan alasan hanya menjalankan tugas.
Polisi muda itu menyatakan, bahwa apa yang diperbuatnya biarlah hanya menjadi rahasianya bersama sang Penciptanya. Menurutnya yang dilakukannya hanya menunaikan hutang, atas niatnya lulus sebagai anggota POLRI. Tidak mengharapkan apresiasi, namun ingin menjadi berguna ditengah-tengah masyarakat.
Saya menulis opini ini bukan untuk membela institusi secara buta. Saya tahu, pro dan kontra akan muncul. Namun saya hanya ingin mengingatkan bahwa aparat bukanlah musuh kita. Musuh bersama kita adalah kejahatan, korupsi, dan kebijakan yang menindas rakyat. Jangan mau kita diadu domba oleh oknum yang sembrono atau politisi yang tak bertanggung jawab.
Cukup sudah bangsa ini larut dalam kebencian. Mari kita jernih dalam berpikir, bijak dalam bertindak, dan cerdas dalam mengelola informasi. Tempatkan diri kita di posisi mereka, agar kita paham bahwa sebenarnya penderitaan mereka bisa lebih berat daripada kita yang tidak terikat sumpah untuk mematuhi setiap perintah.
Saya percaya, semua agama mengajarkan kasih sayang, bukan kebencian. Dengan hati yang jernih, kita akan menemukan kebaikan. Namun dengan amarah, kita hanya akan menemukan kebencian. Maka dari itu, gunakan hati kita dalam melihat berbagai persoalan. Mari kita semua menjaga persatuan, dengan semangat kebersamaan, apapun warna kulit, latar belakang dan seragam kita. Karena hanya dari persatuan itulah lahir kekuatan besar yang tak tertandingi.
Hormat saya kepada semua pahlawan—baik dari masyarakat maupun aparat—yang tulus memperjuangkan keadilan di negeri ini. Semoga kita tidak lagi saling membenci, melainkan saling memahami, melindungi dan saling mengingatkan, Karena sejatinya, kita adalah satu bangsa, satu tanah air, satu kesatuan yang tidak terpisahkan…***
Merdeka!