IBMNews.com, Tanjung Selor – Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Pemprov Kaltara) menyayangkan munculnya sejumlah pemberitaan dari salah satu media online yang dinilai tidak mendasar, menyesatkan, dan cenderung mendiskreditkan pemerintah daerah. Pemberitaan tersebut bahkan disebut telah mengarah pada upaya penggiringan opini publik yang berpotensi merusak citra Pemprov Kaltara.
Menanggapi hal ini, Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum Pemprov Kaltara Hasnan Mustaqim, S.H., M.Hp., melalui Bagian Bantuan Hukum Indrayadi Purnama Saputra, M.H., mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melaporkan dugaan penyebaran berita hoaks tersebut ke Kepolisian Daerah (Polda) Kaltara, pada Jumat (10/10/2025).
Indra menegaskan, laporan itu bukan bentuk penolakan terhadap kritik, melainkan langkah hukum atas dugaan kesengajaan menggiring opini negatif terhadap pemerintah.
“Yang kami laporkan bukan kritik, tapi indikasi adanya upaya sistematis untuk mencemarkan nama baik pemerintah dan menciptakan opini publik yang menyesatkan,” ujar Indra.
Menurutnya, Pemprov Kaltara telah berulang kali memberikan klarifikasi resmi, termasuk melalui Komisi Informasi (KI) Kaltara yang menegaskan bahwa data yang disebarkan media tersebut bersifat menyesatkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun, media dimaksud justru tetap menayangkan pemberitaan serupa tanpa dasar yang kuat.
“Pemerintah sudah meluruskan. Bahkan Ketua KI sendiri sudah menyatakan bahwa informasi itu hoaks. Tapi mereka masih bersikeras menayangkan hal yang sama, bahkan makin mengada-ada,” tegas Indra.
Ia juga menyayangkan sikap media yang dianggap tidak menjunjung etika dan profesionalitas jurnalistik, terutama karena diduga telah menghapus sejumlah berita (take down) setelah dilaporkan ke pihak berwenang.
“Ini yang kami sayangkan. Saat dilaporkan, beritanya malah dihapus. Kami pun meminta bantuan tim siber KI Kaltara untuk membuka kembali link berita tersebut dan memverifikasi bukti-bukti,” tambahnya.
Indra menilai, pemberitaan terkait insentif guru yang dijadikan polemik oleh media tersebut tidak proporsional karena membandingkan data yang tidak relevan, seperti perjalanan dinas.
“Mereka membandingkan insentif guru dengan data perjalanan dinas. Padahal keduanya berbeda konteks dan memiliki dasar regulasi masing-masing. Itu tidak apple to apple,” jelasnya.
Indra juga menilai, media tersebut tidak memberikan ruang konfirmasi yang proporsional. Bahkan disebut-sebut menulis bahwa Gubernur dan Ketua DPRD Kaltara bungkam, padahal tidak pernah ada upaya konfirmasi yang benar.
“Itu tidak sesuai fakta. Gubernur tidak pernah dihubungi. Tapi di berita ditulis seolah sudah dikonfirmasi. Ini bentuk ketidakprofesionalan,” tegasnya lagi.
Lebih jauh, Indra menilai pola pemberitaan yang dilakukan media tersebut bersifat provokatif dan cenderung menyerang secara personal.
“Kalau kritik itu berdasar, tentu kami terima dengan terbuka. Tapi kalau isinya provokatif dan dibangun dengan data palsu, itu bukan kritik — itu fitnah,” ujar Indra.
Pihaknya juga menyoroti adanya dugaan penyebaran keterangan palsu oleh narasumber yang mengatasnamakan lembaga tertentu, namun lembaganya tidak memiliki legalitas yang sah. Meski demikian, Indra menyerahkan hal tersebut sepenuhnya kepada aparat kepolisian untuk mendalaminya.
“Kami tidak mau berspekulasi. Itu nanti menjadi ranah penyelidikan aparat,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Komisi Informasi (KI) Kaltara, Fajar Mentari, mengimbau agar semua pihak, terutama media dan narasumber, berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Fajar menyebut, dalam teori komunikasi, kebohongan yang dibiarkan akan terus beranak-pinak.
“Sekali berbohong, maka akan menambah kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Begitu terus berulang tanpa henti,” ujarnya.
Ia mengingatkan agar narasumber dan media senantiasa mengedepankan etika, data, dan objektivitas dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan publik.
“Kalau mau mengkritik, bicaralah dengan data, bukan asumsi. Kritik tanpa dasar itu konyol,” tegasnya.
Fajar juga menegaskan, media dan narasumber seharusnya menjadi agen edukasi publik, bukan malah menebar kebingungan.
“Jangan merasa paling benar sendiri. Kalau merasa benar, jangan lantas menganggap orang lain pasti salah. Sikap seperti ini hanya menunjukkan ketidakdewasaan berpikir,” ujarnya.
Menurut Fajar, perbedaan pendapat adalah hal wajar, tetapi harus disampaikan dengan nalar dan menghargai perspektif pihak lain.
“Kita harus belajar menghargai pandangan orang lain tanpa merasa diri paling benar. Itulah kunci profesionalitas,” pungkasnya.***(IBM02)