Sejak reformasi 1998, salah satu agenda utama dalam demokratisasi Indonesia adalah menegakkan supremasi sipil—sebuah prinsip yang memastikan bahwa kekuatan militer tetap berada di bawah kendali pemerintahan yang dipimpin oleh aktor-aktor sipil. Hal ini diwujudkan melalui berbagai kebijakan, termasuk pemisahan Polri dari ABRI, penghapusan Dwifungsi TNI, dan pembatasan keterlibatan militer dalam urusan non-pertahanan.
Namun, revisi Undang-Undang TNI yang kini sedang dibahas justru memunculkan berbagai perdebatan. Beberapa poin krusial yang menjadi perhatian publik antara lain:
• Peluang kembalinya Dwifungsi TNI secara terselubung, dengan wacana penempatan perwira aktif di jabatan sipil.
• Ekspansi peran TNI di luar urusan pertahanan, termasuk di bidang keamanan dalam negeri dan proyek-proyek strategis.
• Penguatan sektor bisnis militer, yang berisiko melahirkan kembali pola keterlibatan ekonomi TNI seperti di era Orde Baru.
Pendukung revisi ini berargumen bahwa perubahan UU diperlukan agar TNI bisa lebih adaptif dalam menghadapi ancaman non-militer, seperti terorisme dan kejahatan transnasional. Namun, kritik datang dari berbagai pihak yang khawatir bahwa revisi ini justru akan menggerus reformasi dan membuka celah bagi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Supremasi Sipil: Agar Cinta Ini Tetap Sehat
Dalam hubungan antara militer dan masyarakat, supremasi sipil bisa dianalogikan sebagai batasan sehat dalam sebuah hubungan. Kalau dalam love language ada konsep keseimbangan antara memberi dan menerima, maka dalam politik negara, supremasi sipil memastikan TNI tetap menjalankan tugasnya sebagai penjaga pertahanan, bukan sebagai pengendali kebijakan negara.
Tanpa supremasi sipil, hubungan ini bisa berubah menjadi relasi yang toxic—di mana militer terlalu dominan, dan masyarakat kehilangan kebebasan untuk menentukan arah kebijakan negara. Di banyak negara dengan demokrasi lemah, militer yang terlalu kuat sering kali berujung pada militerisme dan otoritarianisme, di mana keputusan politik lebih banyak ditentukan oleh kekuatan bersenjata daripada oleh suara rakyat.
Oleh karena itu, revisi UU TNI harus dipastikan tetap sejalan dengan prinsip demokrasi, bukan menjadi celah untuk mengembalikan peran militer dalam urusan sipil.
Love Language Militer: Perhatian atau Overprotektif?
Kalau TNI ingin tetap relevan di era demokrasi, cara mengekspresikan ‘love language’-nya juga harus berubah. Love language adalah cara seseorang mengekspresikan dan menerima kasih sayang. Konsep ini juga dikenal sebagai bahasa cinta. Konsep love language pertama kali diperkenalkan oleh Gary Chapman, seorang konselor pernikahan asal Amerika Serikat, dalam bukunya The 5 Love Languages pada tahun 1992.
Love language mencakup cara-cara seperti word of affirmation, act of service, giving a gift, dan physical touch. Jika kita terapkan pada konteks hubungan antara militer dan masyarakat, maka love language dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi simbolis yang menunjukkan komitmen dan perhatian institusi militer kepada rakyat. Apakah melalui tindakan nyata di lapangan, kata-kata penegasan, atau kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan warga negara, “bahasa cinta” ini seharusnya menjadi jembatan antara aparat pertahanan dan aspirasi masyarakat. Jika dipersonifikasikan di konteks hubungan TNI dan masyarakat sipil, kira-kira konsepsinya seperti ini,
• Words of Affirmation: Bukan sekadar narasi “demi rakyat,” tapi dengan komitmen konkret untuk menghormati supremasi sipil.
• Acts of Service: Tidak perlu masuk ke jabatan sipil, cukup dengan meningkatkan profesionalisme dan memperkuat pertahanan negara.
• Physical Touch: Kehadiran di masyarakat memang diperlukan, tapi tidak dalam bentuk kontrol berlebihan yang justru membatasi kebebasan sipil.
Jika TNI benar-benar mencintai rakyat, maka ekspresi cintanya tidak boleh mendominasi, mengontrol, atau mengarahkan tanpa persetujuan. Seperti dalam hubungan yang sehat, kehadiran harus menenangkan, bukan menekan.
Kesimpulan: Revisi UU TNI, Cinta yang Harus Dievaluasi
Saat ini, revisi Undang-Undang TNI masih menjadi perdebatan. Apakah ini bentuk cinta yang tulus untuk menjaga negara? Ataukah ini tanda-tanda kembali ke hubungan lama yang penuh dominasi?
Dalam demokrasi, cinta antara rakyat dan militernya harus dibangun di atas kepercayaan dan keseimbangan. Kalau cinta ini mulai terasa berat sebelah, mungkin sudah saatnya bertanya:
“Apakah ini masih cinta yang sehat, atau sudah jadi toxic relationship?”***(BY CB)