Apakah kita sungguh-sungguh lupa? Atau kita sengaja menutup mata terhadap sejarah yang pernah menampar kita begitu keras?
Lebih dari dua dekade lalu, rakyat Indonesia bersorak, bukan karena pesta, tapi karena bebas.
Bebas dari jerat kekuasaan militer yang mencengkeram selama 32 tahun. Bebas dari rezim yang memenjarakan kritik, membungkam suara, dan mengatur hidup kita dengan senjata.
Reformasi bukan sekadar momentum politik. Ia adalah jeritan bangsa yang muak pada kediktatoran. Namun hari ini, mimpi buruk itu datang mengetuk kembali. Diam-diam, revisi Undang-Undang TNI disusun. Di dalamnya, terselip pasal-pasal yang seolah jinak tapi mematikan. Bahwa tentara aktif bisa kembali duduk di jabatan sipil, Di Mahkamah Agung, Di kementerian,Di institusi yang seharusnya dijaga dari aroma mesiu.
Ini bukan sekadar perubahan aturan. Ini adalah kudeta secara perlahan. Kudeta yang tak butuh tank di jalan, karena sudah disetujui lewat palu sidang. Kudeta yang diselubungi jargon efisiensi dan stabilitas. Padahal, kita semua tahu, stabilitas tanpa kebebasan bukan ketertiban. Itu ketakutan.
Apakah kita sudah lupa darah yang mengalir di tahun 1965? Lupa pada suara-suara yang
dibungkam di Malari? Lupa pada aktivis yang diculik tanpa jejak pada 1998? Itu semua bukan dongeng. Itu fakta. Fakta bahwa militerisme bukanlah alat penata negara, tapi pemangsa demokrasi.
Sekali diberi celah, ia akan menuntut ruang. Dan ketika sudah mengakar, ia mencabut hak sipil dengan senyap, tanpa ampun.
Kita sering dikibuli oleh narasi: “Negara maju bisa kok dipimpin tangan besi.” Tapi pertanyaannya bukan apakah tangan itu kuat. Pertanyaannya: tangan siapa yang menggenggam kita? Apakah itu
tangan rakyat, atau tangan kekuasaan bersenjata?
Demokrasi sejati tidak dibangun dari rasa takut. Ia tumbuh dari keberanian untuk berbeda, untuk bersuara, untuk mengoreksi. Ketika militer kembali mencampuri urusan sipil, maka demokrasi bukan lagi tempat yang aman bagi perbedaan. Ia menjadi panggung yang dikendalikan satu aktor: kekuasaan tanpa kontrol.
Kita tidak sedang berbicara soal jabatan teknis. Kita sedang bicara soal arah bangsa. Apakah kita ingin melangkah ke depan dengan kepala tegak sebagai warga negara yang berdaulat? Atau kita rela
kembali merunduk di bawah bayangan sepatu laras?
Kita tidak butuh lebih banyak jenderal di kementerian. Kita butuh keadilan untuk korban pelanggaran HAM. Kita butuh tentara yang disiplin menjaga batas negara, bukan batas kebebasan sipil. Kita butuh demokrasi yang hidup, bukan dekorasi demokrasi yang rapuh. Maka, hanya satu suara yang harus terus kita gaungkan: tentara harus kembali ke barak. Bukan ke meja kebijakan, bukan ke kursi kekuasaan. Di baraklah tempatnya, karena dari situlah mereka bisa menjaga republik ini, bukan menguasainya.
Jika kita gagal menolak ini, maka Reformasi bukan hanya dikhianati. Ia diludahi. Ia dikubur hiduphidup di bawah bendera yang katanya merah putih, tapi dikibarkan oleh tangan-tangan yang tak lagi mewakili rakyat.
Selamat ulang tahun yang ke-79 TNI!***